Cinta pada Rasul shallallahu alaihi wasalam dengan izin Allah menjadi sebab bagi kita mendapatkan hidayah Insya Allah...

Cinta pada Rasul shallallahu alaihi wasalam dengan izin Allah menjadi sebab bagi kita mendapatkan hidayah Insya Allah
Asalamu'aleykum warahmatulahi wabarakatu

Bismillahi Rahmani Rahiim,

Dari Anas radhiallahu anhu , dari Nabi shallallahu alaihi wasalam , bahwasanya beliau shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Tidaklah (sempurna) iman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada orangtuanya, anaknya dan segenap umat manusia." (Muttafaq Alaih)

Saat ini, di tengah-tengah masyarakat sedang marak berbagai aktivitas yang mengatasnamakan cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam .Kecintaan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasalam adalah perintah agama. Tetapi untuk mengekspresikan cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasalam tidak boleh kita lakukan menurut selera dan hawa nafsu kita sendiri. Sebab jika cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam itu kita ekspresikan secara serampangan tanpa mengindahkan syari'at agama maka bukannya pahala yang kita terima, tetapi malahan menuai dosa.

Dengan mengacu pada hadits shahih di atas, mari kita membahas poin-poin berikut ini: Kewajiban cinta kepada Rasul shallallahu alaihi wasalam , kenapa harus cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam ?, apa tanda-tanda cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam ?, bagaimana agar mencintai Rasul shallallahu alaihi wasalam ?

1. Kewajiban Cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam

Hadits shahih di atas adalah dalil tentang wajibnya mencintai Nabi shallallahu alaihi wasalam dengan kualitas cinta tertinggi. Yakni kecintaan yang benar-benar melekat di hati yang mengalahkan kecintaan kita terhadap apapun dan siapapun di dunia ini. Bahkan meskipun terhadap orang-orang yang paling dekat dengan kita, seperti anak-anak dan ibu bapak kita. Bahkan cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam itu harus pula mengalahkan kecintaan kita terhadap diri kita sendiri.

Dalam Shahih Al-Bukhari diriwayatkan, Umar bin Khathab radhiallahu anhu berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wasalam : "Sesungguhnya engkau wahai Rasulullah, adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu selain diriku sendiri." Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda, 'Tidak, demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, sehingga aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri'. Maka Umar berkata kepada beliau, 'Sekarang ini engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.' Maka Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda, 'Sekarang (telah sempurna kecintaanmu (imanmu) padaku) wahai Umar."

Karena itu, barangsiapa yang kecintaannya kepada Nabi shallallahu alaihi wasalam belum sampai pada tingkat ini maka belumlah sempurna imannya, dan ia belum bisa merasakan manisnya iman hakiki sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Anas radhiallahu anhu , dari Nabi shallallahu alaihi wasalam , beliau bersabda:

"Ada tiga perkara yang bila seseorang memilikinya, niscaya akan merasakan manisnya iman, 'Yaitu, kecintaannya pada Allah dan RasulNya lebih dari cintanya kepada selain keduanya......"

2. Kenapa Cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam ?

Tidak akan mencapai derajat kecintaan kepada Rasul shallallahu alaihi wasalam secara sempurna kecuali orang yang mengagungkan urusan din (agama)nya, yang keinginan utamanya adalah merealisasikan tujuan hidup, yakni beribadah kepada Allah Ta'ala. Dan selalu mengutamakan akhirat daripada dunia dan perhiasannya.

Cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam inilah dengan izin Allah menjadi sebab bagi kita mendapatkan hidayah (petunjuk) kepada agama yang lurus. Karena cinta Rasul pula, Allah menyelamatkan kita dari Neraka, serta dengan mengikuti beliau shallallahu alaihi wasalam kita akan mendapatkan keselamatan dan kemenangan di akhirat.

Adapun cinta keluarga, isteri dan anak-anak maka ini adalah jenis cinta duniawi. Sebab cinta itu lahir karena mereka memperoleh kasih sayang dan manfaat materi. Cinta itu akan sirna dengan sendirinya saat datangnya Hari Kiamat. Yakni hari di mana setiap orang berlari dari saudara, ibu, bapak, isteri dan anak-anaknya karena sibuk dengan urusannya sendiri. Dan barangsiapa lebih mengagungkan cinta dan hawa nafsunya kepada isteri, anak-anak dan harta benda duniawi maka cintanya ini akan bisa mengalahkan kecintaannya kepada para ahli agama, utamanya Rasul shallallahu alaihi wasalam .

3. Tanda-tanda Cinta Rasul shallallahu alaihi wasalam

Cinta Nabi shallallahu alaihi wasalam tidaklah berupa kecenderungan sentimentil dan romantisme pada saat-saat khusus, misalnya dengan peringatan-peringatan tertentu. Cinta itu haruslah benar-benar murni dari lubuk hati seorang mukmin dan senantiasa terpatri di hati. Sebab dengan cinta itulah hatinya menjadi hidup, melahirkan amal shalih dan menahan dirinya dari kejahatan dan dosa.

Adapun tanda-tanda cinta sejati kepada Rasul shallallahu alaihi wasalam adalah:

a. Mentaati beliau shallallahu alaihi wasalam dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Pecinta sejati Rasul shallallahu alaihi wasalam manakala mendengar Nabi shallallahu alaihi wasalam memerintahkan sesuatu akan segera menunaikannya. Ia tak akan meninggalkannya meskipun itu bertentangan dengan keinginan dan hawa nafsunya. Ia juga tidak akan mendahulukan ketaatannya kepada isteri, anak, orang tua atau adat kaumnya. Sebab kecintaannya kepada Nabi shallallahu alaihi wasalam lebih dari segala-galanya. Dan memang, pecinta sejati akan patuh kepada yang dicintainya.

Adapun orang yang dengan mudah-nya menyalahi dan meninggalkan perintah-perintah Nabi shallallahu alaihi wasalam serta menerjang berbagai kemungkaran maka pada dasarnya dia jauh lebih mencintai dirinya sendiri. Sehingga kita saksikan dengan mudahnya ia meninggalkan shalat lima waktu, padahal Nabi shallallahu alaihi wasalam sangat meng-agungkan perkara shalat, hingga ia diwasiatkan pada detik-detik akhir sakaratul mautnya. Dan orang jenis ini, akan dengan ringan pula melakukan berbagai larangan agama lainnya. Na'udzubillah min dzalik.

b. Menolong dan mengagungkan beliau shallallahu alaihi wasalam . Dan ini telah dilakukan oleh para sahabat sesudah beliau wafat. Yakni dengan mensosialisasikan, menyebarkan dan mengagungkan sunnah-sunnahnya di tengah-tengah kehidupan umat manusia, betapapun tantangan dan resiko yang dihadapinya.

c. Tidak menerima sesuatupun perintah dan larangan kecuali melalui beliau shallallahu alaihi wasalam , rela dengan apa yang beliau tetapkan, serta tidak merasa sempit dada dengan sesuatu pun dari sunnah-nya . Adapun selain beliau, hingga para ulama dan shalihin maka mereka adalah pengikut Nabi shallallahu alaihi wasalam .Tidak seorang pun dari mereka boleh diterima perintah atau larangannya kecuali berdasarkan apa yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasalam .

d. Mengikuti beliau shallallahu alaihi wasalam dalam segala halnya. Dalam hal shalat, wudhu, makan, tidur dsb. Juga berakhlak dengan akhlak beliau shallallahu alaihi wasalam dalam kasih sayangnya, rendah hatinya, kedermawanannya, kesabaran dan zuhudnya dsb.

e. Memperbanyak mengingat dan shalawat atas beliau shallallahu alaihi wasalam . Mengharapkan bisa mimpi melihat beliau, betapapun harga yang harus dibayar. Dalam hal shalawat Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda:

"Barangsiapa bershalawat atasku sekali, niscaya Allah bershalawat atasnya sepuluh kali." (HR. Muslim).

Adapun bentuk shalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasalam adalah sebagaimana yang beliau ajarkan. Salah seorang sahabat bertanya tentang bentuk shalawat tersebut, beliau menjawab: "Ucapkanlah:
( Ya Allah, bershalawatlah atas Muhammad dan keluarga Muhammad)." (HR. Al-Bukhari No. 6118, Muslim No. 858).

f. Mencintai orang-orang yang dicintai Nabi shallallahu alaihi wasalam . Seperti Abu Bakar, Umar, Aisyah, Ali radhiallahu anhum dan segenap orang-orang yang disebutkan hadits bahwa beliau shallallahu alaihi wasalam mencintai mereka. Kita harus mencintai orang yang dicintai beliau dan membenci orang yang dibenci beliau shallallahu alaihi wasalam . Lebih dari itu, hendaknya kita mencintai segala sesuatu yang dicintai Nabi, termasuk ucapan, perbuatan dan sesuatu lainnya.

4. Bagaimana Agar Mencintai Nabi shallallahu alaihi wasalam ?

a. Hendaknya kita ingat bahwa Nabi shallallahu alaihi wasalam adalah orang yang paling baik dan paling berjasa kepada kita, bahkan hingga dari orang tua kita sendiri. Beliau lah yang mengeluarkan kita dari kegelapan kepada cahaya, yang menyampaikan agama dan kebaikan kepada kita, yang memperingatkan kita dari kemungkaran. Dan kalau bukan karena rahmat Allah yang mengutus beliau shallallahu alaihi wasalam , tentu kita telah tenggelam dalam kesesatan.

b. Renungkanlah perjalanan hidup Nabi shallallahu alaihi wasalam , jihad dan kesabarannya serta apa yang beliau korbankan demi tegaknya agama ini, dalam menyebarkan tauhid serta memadamkan syirik, sungguh suatu upaya yang tidak bisa dijangkau oleh siapapun.

c. Renungkanlah keagungan akhlak Nabi shallallahu alaihi wasalam , sifat dan sikapnya yang sempurna, rendah hati kepada kaum mukminin dan keras terhadap orang-orang munafik dan musyrikin, pemberani, dermawan dan penyayang. Cukuplah sanjungan Allah atas beliau shallallahu alaihi wasalam :
"Dan sungguh engkau memiliki akhlak yang agung".

d. Mengetahui kedudukan beliau shallallahu alaihi wasalam di sisi Allah Ta'ala. Beliau shallallahu alaihi wasalam adalah orang yang paling mulia di antara segenap umat manusia, penutup para Nabi, yang diistimewakan pada hari Kiamat atas segenap Nabi untuk memberikan syafa'at uzhma (agung), yang memiliki maqam mahmud (kedudukan terpuji), orang yang pertama kali membuka pintu Surga serta berbagai keutamaan beliau lainnya. .

(Disadur dari Abu Okasha)
Read More..

Kemuliaan Para Sahabat Nabi

Kemuliaan Para Sahabat Nabi


Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir masa. Amma ba’du.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa hendak mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal. Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 198)

Pengertian Sahabat
Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam pengertian ini lebih luas daripada duduk di hadapannya, berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan termasuk dalam pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat Taisir Mushthalah Hadits, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)

Sikap Ahlus Sunnah terhadap para Sahabat
Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri hafizhahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah As Salafiyun senantiasa mencintai mereka (para sahabat) dan banyak menyebutkan berbagai kebaikan mereka. Mereka juga mendo’akan rahmat kepada para sahabat, memintakan ampunan untuk mereka demi melaksanakan firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan ; Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada rasa dengki di dalam hati kami kepada orang-orang yang beriman, sesungguhnya Engkau Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr : 10) Dan termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah As Salafiyun adalah menahan diri untuk tidak menyebut-nyebutkan kejelekan mereka serta bersikap diam (tidak mencela mereka, red) dalam menanggapi perselisihan yang terjadi di antara mereka. Karena mereka itu adalah pilar penopang agama, panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, penolong beliau, pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid yang apabila benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun tetap mendapatkan pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka balasan atas apa yang telah mereka perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian perbuat. Kalian tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah : 141). Barangsiapa yang mendiskreditkan para sahabat maka sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)

Dalil-dalil Al Kitab tentang keutamaan para Sahabat

•Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad adalah utusan Allah beserta orang-orang yang bersamanya adalah bersikap keras kepada orang-orang kafir dan saling menyayangi sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’ dan sujud senantiasa mengharapkan karunia dari Allah dan keridhaan-Nya.” (QS. Al Fath)
•Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan.” (QS. Al Hasyr : 8-9)
•Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath : 18)
•Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang terlebih dulu (berjasa kepada Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha mepada Allah. dan Allah telah mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. At Taubah : 100)
•Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari dimana Allah tidak akan menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim : 8) (lihat Al Is’aad, hal. 77-78)
Dalil-dalil dari As Sunnah tentang keutamaan para Sahabat

•Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela seorang pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan setengahnya.” (Muttafaq ‘alaih)
•Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)
•Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu adalah amanat bagi langit. Apabila bintang-bintang itu telah musnah maka tibalah kiamat yang dijanjikan akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah amanat bagi para sahabatku. Apabila aku telah pergi maka tibalah apa yang dijanjikan Allah akan terjadi kepada para sahabatku. Sedangkan para sahabatku adalah amanat bagi umatku. Sehingga apabila para sahabatku telah pergi maka akan datanglah sesuatu (perselisihan dan perpecahan, red) yang sudah dijanjikan Allah akan terjadi kepada umatku ini.” (HR. Muslim)
•Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah : 234)
•Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah : 24) (lihat Al Is’aad, hal. 78)
Dalil Ijma’ tentang keutamaan para Sahabat


•Imam Ibnush Shalah rahimahullah berkata di dalam kitab Mukaddimah-nya, “Sesungguhnya umat ini telah sepakat untuk menilai adil (terpercaya dan taat) kepada seluruh para sahabat, begitu pula terhadap orang-orang yang terlibat dalam fitnah yang ada di antara mereka. hal ini sudah ditetapkan berdasarkan konsensus/kesepakatan para ulama yang pendapat-pendapat mereka diakui dalam hal ijma’.”
•Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam kitab Taqribnya, “Semua sahabat adalah orang yang adil, baik yang terlibat dalam kancah fitnah maupun tidak, ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dapat diperhitungkan.”
•Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus Sunnah sudah sepakat untuk menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada orang yang menyelisihi dalam hal itu melainkan orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli bid’ah.”
•Imam Al Qurthubi mengatakan di dalam kitab Tafsirnya, “Semua sahabat adalah adil, mereka adalah para wali Allah ta’ala serta orang-orang suci pilihan-Nya, orang terbaik yang diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh manusia ciptaan-Nya sesudah tingkatan para Nabi dan Rasul-Nya. Inilah madzhab Ahlus Sunnah dan dipegang teguh oleh Al Jama’ah dari kalangan para imam pemimpin umat ini. Memang ada segolongan kecil orang yang tidak layak untuk diperhatikan yang menganggap bahwa posisi para sahabat sama saja dengan posisi orang-orang selain mereka.” (lihat Al Is’aad, hal. 78)
Hukum mencela Sahabat
Hukum bagi orang yang mencela atau mendiskreditkan para sahabat terbagi menjadi beberapa tingkatan :

•Apabila orang tersebut mencela mereka sehingga celaannya itu melahirkan konsekuensi kafirnya semua sahabat atau sebagian besar di antara mereka, atau mendudukkan mayoritas mereka ke dalam golongan orang-orang fasik, maka tindakan semacam ini tidak diragukan lagi tentang kekafirannya. Karena dia telah berani mendustakan Allah, Rasul-Nya dan berdusta atas nama agama.
•Orang yang mencaci mereka atau mengolok-olok perbuatan mereka. Dalam hal ini ada dua pendapat ulama tentang status kekafirannya. Perbedaan ini muncul disebabkan adanya perbedaan hukuman yang dijatuhkan akibat laknat yang muncul karena kemarahan temporal dengan laknat yang muncul akibat kemarahan permanen yang bersumber dari keyakinan hati
•Orang yang mendiskreditkan mereka akan tetapi tidak sampai merusak citra keadilan dan agama mereka, seperti dengan menyebut mereka sebagai orang yang pengecut, pelit, tidak zuhud dan semacamnya, maka orang yang melakukan perbuatan seperti itu berhak menerima ta’zir (hukuman khusus) yang keras, ditahan dan dibatasi aktifitasnya oleh pemerintahan Islam. (lihat Al Is’aad, hal. 79)
Menyikapi polemik yang terjadi di kalangan para Sahabat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap mereka (Ahlus Sunnah) dalam menyikapi hal itu ialah; sesungguhnya polemik yang terjadi di antara mereka merupakan (perbedaan yang muncul dari) hasil ijtihad dari kedua belah pihak (antara pihak ‘Ali dengan pihak Mu’awiyah, red), bukan bersumber dari niat yang buruk. Sedangkan bagi seorang mujtahid apabila ia benar maka dia berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila ternyata dia tersalah maka dia berhak mendapatkan satu pahala. Dan polemik yang mencuat di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk meraih posisi yang tinggi atau bermaksud membuat kerusakan di atas muka bumi; karena kondisi para sahabat radhiyallahu’anhum tidak memungkinkan untuk itu. Sebab mereka adalah orang yang paling tajam akalnya, paling kuat keimanannya, serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal ini selaras dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah orang di jamanku (sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian maka jalan yang aman ialah kita memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk memperbincangkan polemik yang terjadi di antara mereka dan kita pulangkan perkara mereka kepada Allah; sebab itulah sikap yang lebih aman supaya tidak memunculkan rasa permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 82)
Read More..

Mereka (ulama masa lalu), memegang sabar dengan tali kekangnya, ketetapan hati dengan pengendaliannya...!!!!!!!!/////

Salaam alaikum all brothers and sisters,

Ibnul Jauzi berkata menceritakan para imam yang memiliki cita-cita dan semangat yang tinggi,”Semangat para ulama terdahulu sangatlah tinggi, hal itu diindikasikan oleh karya-karya tulis mereka yang merupakan intisari usia mereka. Namun kebanyakan hasil karangan mereka telah hilang, karena semangat para penuntut ilmu telah melemah. Mereka hanya mencari yang ringkas-ringkas dan tidak bersemangat mempelajari kitab-kitab besar”.

Kemudian, para penuntut ilmu hanya mempelajari dari sebagian kitab tersebut. Lalu, lenyaplah kitab-kitab dan tidak ditulis ulang. Maka, jalan menuntut ilmu yang baik adalah meneliti kitab-kitab yang telah diwariskan (para ulama). Hendaklah dia memperbanyak muthala’ah; karena dia melihat ilmu-ilmu para ulama terdahulu dan tingginya semangat mereka yang mengasah sanubarinya dan menggerakkan semangatnya untuk bersungguh-sungguh, dan tidak ada satu kitab yang tidak ada faedahnya.
Aku berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari perangai mereka yang bergaul bersama kami. Kami tidak melihat mereka memiliki semangat yang tinggi, maka bisa diikuti para generasi muda, dan tidak memiliki sifat wara’ hingga orang yang zuhud bisa mengambil faedah darinya.[Shaid al Khatir hal 571].

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Ibnul Jauzi, dia mencela orang-orang yang ada di masanya. Bagaimana kalau dia melihat orang-orang yagn hidup di masa kita. Pintu-pintu ilmu telah dibukakan kepada mereka, namun mereka menjauhkan diri darinya? Pintu-pintu itu ada di hadapan dan di bawah jangkauan mereka. Tetapi para pemilik semangat sangat sedikit dan orang-orang yang memiliki cita-cita sanagt langka.

Wahai kekasih, ambilah secuil kesabaran mereka. Bagaimana mereka menuntut ilmu? Kesulitan apa saja yang mereka temukan dalam perjalanan mendapatkan ilmu? Agar engkau melihat perbedaan dan jarak antara orang-orang yang ada pada kita disertai perasaan sedih yang mendalam?

Abdullah bin al Qasim al ‘Akti al Mishri ingin melakukan perjalanan dari Kairo menuju Madinah untuk menuntut ilmu bersama Imam Malik, sedangkan istri Abdullah ketika itu sedang mengandung. Ia berkata kepada istrinya,”Aku sudah berniat melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu. Saya merasa tidak akan kembali ke Mesir kecuali setelah melewati waktu yang panjang. Jika engkau ingin aku menceraikanmu aku akan menceraikanmu, maka engkau bisa menikah dengan orang yang engkau kehendaki. Jika engkau memilih tetap bersamaku, saya akan melakukannya namun saya tidak tahu kapan akan kembali”. Istrinya memilih tetap bersamanya sebagai istrinya, dan Ibnu al Qasim berangkat kepada Imam Malik.

Dia tinggal (di Madinah) selama tujuh belas tahun, tidak pernah meninggalakan Imam Malik dan tidak melakukan kegiatan bisnis apapun. Namun semangatnya ditujukan untuk menuntut ilmu. Di masa inilah istrinya melahirkan seorang anak laki-laki dan sudah besar dan Ibnu al Qasim tidak pernah tahu tentang kelahiran anaknya karena kabar beritanya telah terputus sejak masa keberangkatannya. Ibnu al Qasim berkata,”Pada suatu hari, ketika aku berada di majelis Imam Malik, tiba-tiba datang kepada kami seorang haji dari Mesir, seorang pemuda bertutup muika. Ia memberi salam kepada Imam Malik kemudian berkata,”Adakah diantara kalian yang bernama Ibnu al Qasim?” mereka menunjuk ke arahku. Ia langsung menghadap kepadaku, memelukku dan mengecup diantara kedua mataku. Aku merasakan aroma seorang anak darinya. Ternyata dia adalah anakku yang kutinggalkan ketika istriku dalam kaeadaan mengandungnya, dan sekarang telah menjadi pemuda yang sudah besar.”

Bersungguh-sungguh dan mengalami kelelahan bukan hanya dalam menuntut ilmu dam mengikatnya (mencatatnya) saja, tetapi orang yagn diterangi oleh Allah ‘Azza wa Jalla baginya jalan ilmu, ia harus menyebarkannya, duduk bersama para penuntut ilmu dan orang-orang yang belajar serta kalangan masyarakat awam.

Sesungguhnya hal itu adalah zakatnya ilmu dan kewajiban menyebarkannya. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla memberikan rahmat kepada Waki’ bin al Jarrah. Semua harinya digunakan berbuat taat kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala. Dia melakukan puasa dahr(setahun penuh). Di pagi hari, dia duduk (mengajar) untuk para ahli hadist hingga siang mulai menanjak naik, kemudian dia pulang. Dia tidur siang hingga waktu shalat Dhuhur. Kemudian keluar (rumah) melaksanakan shalat Dhuhur dan dia menuju jalan yang digunakan, yang dinaiki oleh penimba air, lalu mereka mengisi timba mereka. Maka, ia mengajarkan al Qur’an kepada mereka yang digunakan untuk menunaikan kewajiban hingga batas waktu ‘Asyar. Kemudian dia kembali ke masjidnya. Lalu shalat ‘Asyar. Kemudian dia duduk mempelajari al Qur’an dan berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla hingga akhir siang. Kemudian waktu dia masuk rumahnya, lalu dihidangkan kepadanya sajian berbukanya[Tarikh Baghdad 13/501].

Imam ath Thabari di musim panas, tidak ketinggalan hais(kurma yang dicampur samindan keju serta diadoni dengan kuat. Terkadang diberikan pula tepung) raihan (kemangi), dan lainaufar(satu jenis wangi-wangian yang tumbuh di air yang tenang). Apabila selesai makan dia tidur di khaisy(pakaian halus dalam tenunannya dan jahitannya kasar. Dibuat dari sisa-sisa benang(afal). Dipakai di musim panas ketika tidur) di baju yang pendek lengan bajunya, dicelup dengan kayu cendana dan air mawar.

Kemudian ia bangun dan shalat Dhuhur di rumahnya (masjidnya). Menulis karangannya sampai waktu ‘Asyar. Kemudian keluar untuk menunaikan shlat ‘Asyar. Duduk untuk manusia dibacakan kitab-kitab atasnya hingga waktu Maghrib. Kemudian beliau duduk untuk membacakan fiqih dan mengajar dihadapannya hingga waktu shalat ‘Isya’ yang terakhir. Dia membagi malam dan siangnya untuk kebaikan dirinya, agamanya, dan semua makhluk, seperti taufiq yang dinerikan Allah ‘Azza wa Jalla kepadanya.

Mereka (ualma masa lalu), memegang sabar dengan tali kekangnya, ketetapan hati dengan pengendaliannya. Mereka didorong oleh cita-cita yang tinggi, harapan yang luas, dan karunia dari Allah ‘Azza wa Jalla.

Al Khatib al Baghdadi mendengar Shahih Bukhari dari Ismail bin Ahmad al Hairi di Makkah dalam tiga majelis: dua kali di malam hari. Dia mulai membaca di waktu maghrib dan mengkhatamkannya ketika shalat Fajar. Dan yang ketiga dari waktu Dhuha hingga terbitnya fajar(kembali_peng). Adz Dzahabi berkata,” Ini adalah hal yang tidak ada seorangpun di masa kami yang dapat melakukannya. Kemungkinan di antara penyebab kemudahan hal itu adalah berkah waktu yang di saat itu.”[Qawa’id at Tahdits karya al Qasimy hal. 262).

http://ibnuabuabdillah.wordpress.com/tag/uluwwul-himmah/
Read More..

Muhammad bin al-Hanafiyyah

Muhammad bin al-Hanafiyyah (wafat 181 H)
Namanya adalah Muhammad Ibn al-Hanafiah, ia banyak menimba ilmu dari ‘Ali bin Abi thalib.”

pada saat Telah terjadi percekcokan antara Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan saudaranya al-Hasan ibn Ali, maka Ibn al-Hanafiah mengirim surat kepada saudaranya itu, isinya, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kelebihan kepadamu atas diriku…Ibumu Fathimah binti Muhammad ibn Abdullah, sedangkan ibuku seorang wanita dari Bani “Haniifah.” Kakekmu dari garis ibu adalah utusan Allah dan makhluk pilihannya, sedangkan kakekku dari garis ibu adalah Ja’far ibn Qais. Apabila suratku ini sampai kepadamu, kemarilah dan berdamailah denganku, sehingga engkau memiliki keutamaan atas diriku dalam segala hal.”
Begitu surat itu sampai ke tangan al-Hasan…ia segera ke rumahnya dan berdamai dengannya. Siapakah Muhammad ibn al-Hanafiyyah, seorang adib (ahli adab/pujangga), seorang yang pandai dan berakhlak lembut ini? Marilah, kita membuka lembaran hidupnya dari awal.


Kisah ini bermula sejak akhir kehidupan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Pada suatu hari, Ali ibn Abi Thalib duduk bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, maka ia berkata, “Wahai Rasulullah…apa pendapatmu apabila aku dikaruniani seorang anak setelah engkau meninggal, (bolehkah) aku menamainya dengan namamu dan memberikan kun-yah (sapaan yang biasanya diungkapkan dengan ‘Abu fulan…’) dengan kunyah-mu?.” “Ya” jawab beliau.


Kemudian hari-hari pun berjalan terus. Dan Nabi yang mulia Shallallahu Alaihi Wassalam bertemu dengan ar-Rafiiqul al-A’laa (berpulang ke sisi Allah)…dan setelah hitungan beberapa bulan Fathimah yang suci, Ibunda al-Hasan dan al-Husain menyusul beliau (wafat).


Ali lalu menikahi seorang wanita Bani Haniifah. Ia menikahi Khaulah binti Ja’far ibn Qais al-Hanafiyyah, yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki untuknya. Ali menamainya “Muhammad” dan memanggilnya dengan kun-yah “Abu al-Qaasim” atas izin Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Hanya saja orang-orang terlanjur memanggilnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah, untuk membedakannya dengan kedua saudaranya al-Hasan dan al-Husain, dua putra Fathimah az-Zahra. Kemudian iapun dikenal dalam sejarah dengan nama tersebut.


Muhammad ibn al-Hanafiyyah lahir di akhir masa khilafah ash-Shiddiq (Abu Bakar) RA. Ia tumbuh dan terdidik di bawah perawatan ayahnya, Ali bin Abi Thalib, ia lulus di bawah didikannya.
Ia belajar ibadah dan kezuhudan dari ayahnya…mewarisi kekuatan dan keberaniannya…menerima kefasihan dan balaghoh darinya. Hingga ia menjadi pahlawan perang di medan pertempuran…singa mimbar di perkumpulan manusia…seorang ahli ibadah malam (Ruhbaanullail) apabila kegelapan telah menutup tirainya ke atas alam dan saat mata-mata tertidur lelap.


Ayahnya telah mengutusnya ke dalam pertempuran-pertempuran yang ia ikuti. Dan ia (Ali) telah memikulkan di pudaknya beban-beban pertempuran yang tidak ia pikulkan kepada kedua saudaranya yang lain; al-Hasan dan al-Husain. Ia pun tidak terkalahkan dan tidak pernah melemah keteguhannya.

Pada suatu ketika pernah dikatakan kepadanya, “Mengapakah ayahmu menjerumuskanmu ke dalam kebinasaan dan membebankanmu apa yang kamu tidak mampu memikulnya dalam tempat-tempat yang sempit tanpa kedua saudaramu al-Hasan dan al-Husain?”
Ia menjawab, “Yang demikian itu karena kedua saudaraku menempati kedudukan dua mata ayahku…sedangkan aku menempati kedudukan dua tangannya…sehingga ia (Ali) menjaga kedua matanya dengan kedua tangannya.”


Dalam perang “Shiffin” yang berkecamuk antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan RA. Adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah membawa panji ayahnya. Dan di saat roda peperangan berputar menggilas pasukan dari dua kelompok, terjadilah sebuah kisah yang ia riwayatkan sendiri. Ia menuturkan, “Sungguh aku telah melihat kami dalam perang “Shiffin”, kami bertemu dengan para sahabat Muawiyah, kami saling membunuh hingga aku menyangka bahwa tidak akan tersisa seorang pun dari kami dan juga dari mereka. Aku menganggap ini adalah perbuatan keji dan besar.


Tidaklah berselang lama hingga aku mendengar seseorang yang berteriak di belakangku, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada Allah)…wahai kaum Muslimin…
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?…
Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?*…
Wahai kaum Muslimin…takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah dan sisakan kaum muslimin, wahai ma’syarol muslimin.”
Maka sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk tidak mengangkat pedangku di wajah seorang Muslim.
Kemudian Ali mati syahid di tangan pendosa yang dzalim (di tangan Abdurrahman ibn Miljam )
Kekuasaan pun berpindah kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan. Maka, Muhammad ibn al-Hanafiyyah membaiatnya untuk selalu taat dan patuh dalam keadaan suka maupun benci karena keinginannya hanya untuk menyatukan suara dan mengumpulkan kekuatan serta untuk menggapai izzah bagi Islam dan Muslimin.


Muawiyah merasakan ketulusan baiat ini dan kesuciannya. Ia merasa benar-benar tentram kepada sahabatnya, hal mana menjadikannya mengundang Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk mengunjunginya.
Maka, ia pun mengunjunginya di Damaskus lebih dari sekali…dan lebih dari satu sebab.


Di antaranya, bahwa kaisar Romawi menulis surat kepada Muawiyah. Ia mengatakan, “Sesungguhnya raja-raja di sini saling berkoresponden dengan raja-raja yang lain. Sebagian mereka bersenang-senang dengan yang lainnya dengan hal-hal aneh yang mereka miliki…sebagin mereka saling berlomba dengan sebagian yang lain dengan keajaiban-keajaiban yang ada di kerajaan-kerajaan mereka. Maka, apakah kamu mengizinkan aku untuk mengadakan (perlombaan) antara aku dan kamu seperti apa yang terjadi di antara mereka?” Maka, Muawiyah mengiyakannya dan mengizinkannya.


Kaisar Romawi mengirim dua orang pilih-tandingnya. Salah seorang darinya berbadan tinggi dan besar sekali sehingga seakan-akan ia ibarat pohon besar yang menjulang tinggi di hutan atau gedung tinggi nan kokoh. Adapun orang yang satu lagi adalah seorang yang begitu kuat, keras dan kokoh seakan-akan ia ibarat binatang liar yang buas. Sang kaisar menitipkan surat bersama keduanya, ia berkata dalam suratnya, “Apakah di kerajaanmu ada yang menandingi kedua orang ini, tingginya dan kuatnya?.”
Muawiyah lalu berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Aash, “Adapun orang yang berbadan tinggi, aku telah menemukan orang yang sepertinya bahkan lebih darinya…ia Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Adapun orang yang kuat, maka aku membutuhkan pendapatmu.”
‘Amr berkata, “Di sana ada dua orang untuk urusan ini, hanya saja keduanya jauh darimu. Mereka adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan Abdullah ibn az-Zubair.”
“Sesungguhnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidaklah jauh dari kita,” kata Muawiyyah.
“Akan tetapi apakah engkau mengira ia akan ridla bersama kebesaran kemuliaannya dan ketinggian kedudukannya untuk mengalahkan kekuatan orang dari Romawi ini dengan ditonton manusia,?” tanya ‘Amr.
Muawiyah berkata, “Sesungguhnya ia akan melakukan hal itu dan lebih banyak dari itu, apabila ia menemukan izzah bagi Islam padanya.” Kemudian Muawiyah memanggil keduanya, Qais ibn Sa’d dan Muhammad ibn al-Hanafiyyah.


Ketika majelis telah dimulai, Qais ibn Sa’d berdiri dan melepaskan sirwal-sirwal-nya (celana yang lebar) lalu melemparkannya kepada al-‘Ilj** dari Romawi dan menyuruhnya untuk memakainya. Ia pun memakainya…maka, sirwalnya menutupi sampai di atas kedua dadanya sehingga orang-orang ketawa dibuatnya.
Adapun Muhammad ibn al-Hanafiyyah, ia berkata kepada penterjemahnya, “Katakan kepada orang Romawi ini…apabila ia mau, ia duduk dan aku berdiri, lalu ia memberikan tangannya kepadaku. Entah aku yang akan mendirikannya atau dia yang mendudukkanku…Dan bila ia mau, dia yang berdiri dan aku yang duduk…” Orang Romawi tadi memilih duduk.


Maka Muhammad memegang tangannya, dan (menariknya) berdiri…dan orang Romawi tersebut tidak mampu (menariknya) duduk…
Kesombongan pun merayap dalam dada orang Romawi, ia memilih berdiri dan Muhammad duduk. Muhammad lalu memegang tangannya dan menariknya dengan satu hentakan hampir-hampir melepaskan lengannya dari pundaknya…dan mendudukkannya di tanah.
Kedua orang kafir Romawi tersebut kembali kepada rajanya dalam keadaan kalah dan terhina.


Hari-hari berputar lagi…
Muawiyah dan putranya Yazid serta Marwan ibn al-Hakam telah berpindah ke rahmatullah…Kepemimpinan Bani Umayyah berpindah kepada Abdul Malik ibn Marwan, ia mengumumkan dirinya sebagai khalifah muslimin dan penduduk Syam membaiatnya.
Sementara penduduk Hijaz dan Irak telah membaiat Abdullah ibn az-Zubair***.


Setiap dari keduanya mulai menyeru orang yang belum membaiatnya untuk membaiatnya…dan mendakwakan kepada manusia bahwa ia yang paling berhak dengan kekhalifahan daripada sahabatnya. Barisan kaum muslimin pun terpecah lagi…
Di sinilah Abdullah ibn az-Zubair meminta kepada Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk membaiatnya sebagaimana penduduk Hijaz telah membaiatnya. Hanya saja Ibn al-Hanafiyyah memahami betul bahwa baiat akan menjadikan hak-hak yang banyak di lehernya bagi orang yang ia baiat. Di antaranya adalah menghunus pedang untuk menolongnya dan memerangi orang-orang yang menyelisihinya. Dan para penyelisihnya hanyalah orang-orang muslim yang telah berijtihad, lalu membaiat orang yang tidak ia bai’at. Tidaklah orang yang berakal sempurna lupa akan kejadian di hari “Shiffin.”


Tahun yang panjang belum mampu menghapus suara yang menggelegar dari kedua pendengarannya, kuat dan penuh kesedihan, dan suara itu memanggil dari belakangnya, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada) Allah…wahai kaum Muslimin…
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?… Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami.”..
Ya, ia belum lupa sedikitpun dari itu semua. Maka, ia berkata kepada Abdullah ibn az-Zubair, “Sesungguhnya engkau mengetahui dengan sebenar-benarnya, bahwa dalam perkara ini aku tidak memiliki tujuan dan tidak pula permintaan…hanyalah aku ini seseorang dari kaum muslimin. Apabila kalimat (suara) mereka berkumpul kepadamu atau kepada Abdul Malik, maka aku akan membaiat orang yang suara mereka berkumpul padanya. Adapun sekarang, aku tidak membaiatmu…juga tidak membaiatnya.”


Mulailah Abdullah mempergaulinya dan berlemah lembut kepadanya dalam satu kesempatan. Dan dalam kesempatan yang lain ia berpaling darinya dan bersikap keras kepadanya. Hanya saja, Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak berselang lama hingga banyak orang yang bergabung dengannya ketika mereka mengikuti pendapatnya. Dan mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepadanya, hingga jumlah mereka sampai tujuh ribu orang dari orang-orang yang memilih untuk memisahkan diri dari fitnah. Dan mereka enggan untuk menjadikan diri mereka kayu bakar bagi apinya yang menyala.


Setiap kalii pengikut Ibn al-Hanafiyyah bertambah jumlahnya, bertambahlah kemarahan Ibn az-Zubair kepadanya dan ia terus mendesaknya untuk membaiatnya.Ketika Ibn az-Zubair telah putus asa, ia memerintahkannya dan orang-orang yang bersamanya dari Bani Hasyim dan yang lainnya untuk menetap di Syi’b (celah di antara dua bukit) mereka di Mekkah, dan ia menempatkan mata-mata untuk mengawasi mereka.
Kemudian ia berkata kepada mereka, “Demi Allah, sungguh-sungguh kalian harus membaiatku atau benar-benar aku akan membakar kalian dengan api…
Kemudian ia menahan mereka di rumah-rumahnya dan mengumpulkan kayu bakar untuk mereka, lalu mengelilingi rumah-rumah dengannya hingga sampai ujung tembok. Sehingga seandainya ada satu kayu bakar menyala niscaya akan membakar semuanya.


Di saat itulah, sekelompok dari para pengikut Ibn al-Hanafiyyah berdiri kepadanya dan berkata, “Biarkan kami membunuh Ibn az-Zubair dan menenangkan manusia dari (perbuatan)nya.”
Ia berkata, “Apakah kita akan menyalakan api fitnah dengan tangan-tangan kita yang karenanya kita telah menyepi (memisahkan diri)…dan kita membunuh seorang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan anak-anak dari sahabatnya?! Tidak, demi Allah kita tidak akan melakukan sedikitpun apa yang manjadikan Allah dan Rasul-Nya murka.”
Berita tentang apa yang diderita oleh Muhammad ibn al-Hanafiyah dan para pengikutnya dari kekerasan Abdullah ibn az-Zubair sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan.

Ia melihat kesempatan emas untuk menjadikan mereka condong kepadanya.
Ia lantas mengirim surat bersama seorang utusannya, yang seandainya ia menulisnya untuk salah seorang anaknya tentunya ‘dialek’nya tidak akan sehalus itu dan redaksinya tidak selembut itu.
Dan di antara isi suratnya adalah, “Telah sampai berita kepadaku bahwa Ibn az-Zubair telah mempersempit gerakmu dan orang-orang yang bersamamu…ia memutus tali persaudaraanmu…dan merendahkan hakmu. Ini negeri Syam terbuka di depanmu, siap menjemputmu dan orang-orang yang bersamamu dengan penuh kelapangan dan keluasan…singgahlah di sana dimana engkau mau, niscaya engkau akan menemukan penduduknya mengucapkan selamat kepadamu dan para tetangga yang mencintaimu…dan engkau akan mendapatkan kami orang-orang yang memahami hakmu…menghormati keutamaanmu…dan menyambung tali persaudaraanmu Insya Allah…
Muhammad ibn al-Hanafiyah dan orang-orang yang bersamanya berjalan menuju negeri Syam…sesampainya di “Ublah”, mereka menetap di sana.


Penduduknya menempatkan mereka di tempat yang paling mulia dan menjamu mereka dengan baik sebaga tetangga.
Mereka mencitai Muhammad ibn al-Hanafiyah dan mengagungkannya, karena apa yang mereka lihat dari kedalaman (ketekunan) ibadahnya dan kejujuran zuhudnya.


Ia mulai menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar. Ia mendirikan syi’ar-syi’ar di antara mereka dan mengadakan ishlah dalam perselisihan mereka. Ia tidak membiarkan seorang pun dari manusia mendzalimi orang lain.
Di saat berita itu sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan, hal tersebut memberatkan hatinya. Ia kemudian bermusyawarah dengan orang-orang terdekatnya. Mereka berkata kepadanya, “Kami tidak berpendapat agar engkau memperbolehkannya tinggal di kerajaanmu. Sedangkan sirahnya sebagaimana yang engkau ketahui…entah ia membaiatmu…atau ia kembali ke tempatnya semula.”


Maka, Abdul Malik menulis surat untuknya dan berkata, “Sesungguhnya engkau telah mendatangi negeriku dan engkau singgah di salah satu ujungnya. Dan ini peperangan yang terjadi antara diriku dan Abdullah ibn az-Zubair. Dan engkau adalah seseorang yang memiliki tempat dan nama di antara kaum Muslimin. Dan aku melihat agar engkau tidak tinggal di negeriku kecuali bila engkau membaiatku. Bila engkau membaiatku, aku akan memberimu seratus kapal yang datang kepadaku dari “al-Qalzom” kemarin, ambillah beserta apa yang ada padanya. Bersama itu engkau berhak atas satu juta dirham ditambah dengan jumlah yang kamu tentukan sendiri untuk dirimu, anak-anakmu, kerabatmu, budak-budakmu dan orang-orang yang bersamamu. Bila engkau menolaknya maka pergilah dariku ke tempat yang aku tidak memiliki kekuasaan atasnya.”


Muhammad ibn al-Hanafiyah kemudian menulis balasan, “Dari Muhammad ibn Ali, kepada Abdul Malik ibn Marwan. Assalamu ‘alaika…Sesungguhnya aku memuji kepada Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia, (aku berterima kasih) kepadamu. Amma ba’du…Barangkali engkau menjadi ketakutan terhadapku. Dan aku mengira engkau adalah orang yang paham terhadap hakikat sikapku dalam perkara ini. Aku telah singgah di Mekkah, maka Abdullah ibn az-Zubair menginginkan aku untuk membaiatnya, dan tatkala aku menolaknya ia pun berbuat jahat terhadap pertentanganku. Kemudian engkau menulis surat kepadaku, memanggilku untuk tinggal di negeri Syam, lalu aku singgah di sebuah tempat di ujung tanahmu di karenakan harganya murah dan jauh dari markaz (pusat) pemerintahanmu. Kemudian engkau menulis kepadaku apa yang telah engkau tuliskan. Dan kami Insya Allah akan meninggalkanmu.”


Muhammad ibn al-Hanafiyyah beserta orang-orangnya dan kelurganya meninggalkan negeri Syam, dan setiap kali ia singgah di suatu tempat ia pun di usir darinya dan diperintahkan agar pergi darinya.


Dan seakan-akan kesusahan belum cukup atasnya, hingga Allah berkehendak mengujinya dengan kesusahan lain yang lebih besar pengaruhnya dan lebih berat tekanannya…
Yang demikian itu, bahwa sekelompok dari pengikutnya dari kalangan orang-orang yang hatinya sakit dan yang lainnya dari kalangan orang-orang lalai. Mereka mulai berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam telah menitipkan di hati Ali dan keluarganya banyak sekali rahasia-rahasia ilmu, qaidah-qaidah agama dan perbendaharaan syariat. Beliau telah mengkhususkan Ahlul Bait dengan apa yang orang lain tidak mengetahuinya.”


Orang yang ‘alim, beramal dan mahir ini memahami betul apa yang diusung oleh ucapan ini dari penyimpangan, serta bahaya-bahaya yang mungkin diseretnya atas Islam dan Muslimin. Ia pun mengumpulkan manusia dan berdiri mengkhutbahi mereka…ia memuji Allah AWJ dan menyanjungnya dan bershalawat atas Nabi-Nya Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam…kemudian berkata, “Sebagian orang beranggapan bahwa kami segenap Ahlul Bait mempunyai ilmu yang Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam mengkhususkan kami dengannya, dan tidak memberitahukan kepada siapapun selain kami. Dan kami –demi Allah- tidaklah mewarisi dari Rasulullah melainkan apa yang ada di antara dua lembaran ini, (dan ia menunjuk ke arah mushaf). Dan sesungguhnya barangsiapa yang beranggapan bahwa kami mempunyai sesuatu yang kami baca selain kitab Allah, sungguh ia telah berdusta.”


Adalah sebagian pengikutnya mengucapkan salam kepadanya, mereka berkata, “Assalamu’alaika wahai Mahdi.”
Ia menjawab, “Ya, aku adalah Mahdi (yang mendapat petunjuk) kepada kebaikan…dan kalian adalah para Mahdi kepada kebaikan Insya Allah…akan tetapi apabila salah seorang dari kalian mengucapkan salam kepadaku, maka hendaklah menyalamiku dengan namaku. Hendaklah ia berkata, “Assalamu’alaika ya Muhammad.”


Tidak berlangsung lama kebingungan Muhammad ibn al-Hanafiyyah tentang tempat yang akan ia tinggali beserta orang-orang yang bersamanya…Allah telah berkehendak agar al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofi menumpas Abdullah ibn az-Zubair…dan agar manusia seluruhnya membaiat Abdul Malik ibn Marwan.


Maka, tidaklah yang ia lakukan kecuali menulis surat kepada Abdul Malik, ia berkata, “Kepada Abdul Malik ibn Marwan, Amirul Mukminin, dari Muhammad ibn Ali. Amma ba’du…Sesungguhnya setelah aku melihat perkara ini kembali kepadamu, dan manusia membaiatmu. Maka, aku seperti orang dari mereka. Aku membaiatmu untuk walimu di Hijaz. Aku mengirimkan baiatku ini secara tertulis. Wassalamu’alaika.”


Ketika Abdul Malik membacakan surat tersebut kepada para sahabatnya, mereka berkata, “Seandainya ia ingin memecah tongkat ketaatan (baca: keluar dari ketaatan) dan membikin perpecahan dalam perkara ini, niscaya ia mampu melakukannya, dan niscaya engkau tidak memiliki jalan atasnya…Maka tulislah kepadanya dengan perjanjian dan keamanan serta perjanjian Allah dan Rasul-Nya agar ia tidak diusir dan diusik, ia dan para sahabatnya.”


Abdul Malik kemudian menulis hal tersebut kepadanya. Hanya saja Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak hidup lama setelah itu. Allah telah memilihnya untuk berada di sisi-Nya dalam keadaan ridla dan diridlai.


Semoga Allah memberikan cahaya kepada Muhammad ibn al-Hanafiyah di kuburnya, dan semoga Allah mengindahkan ruhnya di surga…ia termasuk orang yang tidak menginginkan kerusakan di bumi tidak pula ketinggian di antara manusia.




Sumber: - Hilyah al-Auliyaa oleh Abu Nu’aim, III: 174, - Tahdziib at-Tahdziib, IX:354, - Shifah ash-Shafwah oleh Ibnul Jauzi (cet. Halab), II: 77-79, - Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa’d, V:91, - Al-Waafi bi al-Wafayaat (terjemah): 1583, - Wafayaat al-A’yaan oleh Ibnu Kholaqan, IV:169, - Al-Kamil, III:391 dan IV:250 pada kejadian-kejadian tahun 66 H, - Syadzarat adz-Dzahab, I:89,- Tahdziib al-Asma Wa al-Lughaat, I:88-89, - Al-Bad’u Wa at-Tarikh, V:75-76, - Al-Ma’arif oleh Ibnu Qutaibah: 123, - Al-‘Iqd al-Farid oleh Ibnu Abdi Rabbih, tahqiq al-‘Urayyan, Juz II,III,V dan VII
Read More..

Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah

Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah
... Ringkasan Buku ...

Judul : Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah
Penulis : Yazid bin Abdul Qadir Jawas
... .. .
Penerbit : Pustaka At Taqwa
Cetakan : Cet. IV, Juni 2008
Halaman : xii+303
Buku yang ditulis oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas ini memang
layak menjadi bingkisan yang istimewa bagi siapa saja yang ingin
menuju keluarga sakinah. Isinya berupa panduan panduan tentang
pernikahan yang islami. Disertai pula dengan hak hak dan kewajiban
yang perlu diperhatikan oleh pasangan suami istri. Juga tentang arahan
apa yang harus dilakukan bila sang buah hati lahir. Pada bagian akhir
disertakan tentang berbakti kepada kedua orang tua, suatu fundamen
yang penting dalam rumah tangga suami istri.
Pada ringkasan ini saya kutipkan sebagian isi dari buku tersebut
dari bab Tata Cara Pernikahan Dalam Islam. Hanya sebagian saja.
Kemudian footnote pun tidak saya sertakan seluruhnya. Semoga
menjadi perhatian bagi para ikhwan dan akhwat yang akan menikah,
juga para wali dan orang tua yang anaknya akan menikah. Semoga
pernikahannya sesuai dengan aturan Islam dan mendatangkan
keberkahan dari Allah Jalla wa 'Ala.
[AQAD NIKAH]
-------------
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus
dipenuhi, yaitu adanya: 1. Rasa suka sama suka dari kedua calon
mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul
[WALI]
-------------
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita.
Dan orang yang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka
adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga
anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian
saudara seayah, kemudian paman.
Ibnu Bathtal rahimahullah berkata, "Mereka (para ulama) ikhtilaf
... .. .
tentang wali. Jumhur ulama -diantaranya adalah Imam Malik, ats
Tsauri, al Laits, Imam asy Syafi'i, dan selainnya- berkata, "Wali dalam
pernikahan adalah 'ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari
saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara saudara dari pihak ibu tidak
memiliki hak wali."
Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya
bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan
menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada
wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing
urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita
menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah
pernikahannya.
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
"Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya
bathil (tidak sah), pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika
seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar
dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka
sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai
wali." (Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2083). Hadits ini dishahihkan
Syaikh al Albani dalam kitabnya Irwaa-ul Ghaliil (no. 1840)).
Persyaratan adanya wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya,
apabila seseorang gadis atau janda menikah tanpa wali, maka nikahnya
tidak sah.
Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits hadits di
yang shahih dan juga berdasarkan dalil dari al Qur'anul Karim.
Allah Ta'ala berfirman (yang artinya):
"Dan apabila kamu menceraikan istri istri (kamu), lalu sampai masa
'iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi)
dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara
mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasehatkan kepada orang
orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu
lebih suci bagimu dan lebih
bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui."
al Baqarah: 232).
Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab sebab turunnya ayat), yaitu
satu riwayat berikut ini. Tentang firman Allah: "MAKA JANGANLAH
... .. .
KAMU (PARA WALI) MENGHALANGI MEREKA," al Hasan al Bashri
rahimahullah berkata, Telah menceritakan kepadaku Ma'qil bin Yasar,
sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,
"Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang
laki, kemudian laki laki itu menceraikannya. Sehingga ketika masa
'iddahnya telah berlalu, laki laki itu (mantan suami) datang untuk
meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, 'Aku telah menikahkan
dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu
engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk
meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu
selamanya! Sedangkan ia adalah laki laki yang baik, dan wanita itu pun
menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat
ini: 'MAKA JANGANLAH KAMU (PARA WALI) MENGHALANGI
MEREKA,' Maka aku berkata, 'Sekarang aku akan melakukannya
(mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah.'"
Kemudian Ma'qil menikahkan saudara perempuannya kepada laki laki
itu. (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al Bukhari (5130).
Hadits Ma'qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih dan sharih (jelas).
Hadits ini merupakan sekuat kuatnya hujjah dan dalil tentang
disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya TIDAK SAH NIKAH
TANPA WALI, BAIK GADIS MAUPUN JANDA. Dalam hadits ini, Ma'qil
bin Yasar yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi
pernikahan antara saudara perempuannya yang akan ruju' dengan
mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama sama ridha. Lalu Allah
Ta'ala menurunkan ayat yang mulia ini (al Baqarah ayat 232) agar para
wali jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat,
bisa saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak.
Kesimpulannya, WALI SEBAGAI SYARAT SAHNYA NIKAH.
[KEHARUSAN MEMINTA PERSETUJUAN WANITA SEBELUM
PERNIKAHAN]
--------------------------------------------------------
Apabila pernikahan tidak sah kecuali dengan adanya wali, maka
merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang
berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda,
maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita
tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya
merupakan tanda ia setuju.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu bahwa Nabi shallallahu'alaihi
... .. .

sallam bersabda,
"Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta
perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali
setelah diminta ijinnya," Para shahabat berkata, "Wahai Rasulullah,
bagaimanakah ijinnya?"
Beliau menjawab, "Jika ia diam saja."
Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma bahwasannya ada seorang gadis
yang mendatangi Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan mengadu
bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menyerahkan pilihan kepadanya
(apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia ingin
membatalkannya). (Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2096)).
[PERSONAL VIEW]
---------------
Tidak sah nikah tanpa wali baik gadis maupun janda. Wali merupakan
syarat sahnya nikah.
Pada sisi yang lain seorang wali pun tidak boleh sewenang wenang.
Seorang wali wajib meminta persetujuan wanita yang berada di bawah
perwaliannya. Berkata Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
hafizhahullah dalam salah satu tulisannya,
"Demikian juga hendaknya menjadi pelajaran kepada setiap bapak agar
lebih bijak dalam menikahkan anak-anak perempuannya. Karena
masalah hati tidak bisa dipaksakan, walaupun badan dipaksa dan
terpaksa mengikutinya. Karena sebagaimana laki laki, maka wanita pun
dalam masalah ini mempunyai hak yang sama dalam menentukan
pilihannya. ... Apatah lagi dia hanya seorang wanita, dimana Nabi yang
mulia telah memerintahkan kepada kita untuk berpesan dan berwasiat
baik baik kepada mereka." (Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al Masaa
Jilid 7, Darus Sunnah, Masalah 204, Cet. I, Oktober 2006, hal. 185
Demikian semoga bermanfaat.

seorang hamba yang selalu mengharap ampunan Rabb-nya Abu Isa Hasan Cilandak
Semoga Allah menolongnya, menolong para pembela Islam dan menolong kaum
muslimin
Read More..

Temui Aku ... Di Telaga!

... Ringkasan Buku ...
Judul : Temui Aku... Di Telaga!
Penulis : Armen Halim Naro
Penerbit : Pustaka Darul Ilmi
Cetakan : Pertama, Februari 2008 M
Halaman : vi+78
... .. .
Buku ini berisi panduan dan motivasi berpegang teguh pada zaman
keterasingan. Suatu zaman dimana sedikit orang orang yang berpegang
pada al Haq.
Dalam ringkasan ini saya kutipkan sebagian isi dari buku tersebut. Dua
pasal saja, yaitu tentang hadits ghurbah dan sifat sifat ghuraba' (orang
orang yang asing). Hadits yang ada pada buku ini tidak saya sertakan
semuanya semata mata untuk ringkasnya tulisan ini.
[HADITS GHURBAH (KETERASINGAN)]
---------------------------
Hadits keterasingan Islam dan kaum muslimin diriwayatkan dari
berbagai jalan, baik yang mausul (sampai sanadnya kepada Nabi)
maupun munqathi' (yang terputus) dengan beragam lafadz dan
bermacam ungkapan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu ia berkata: "Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: "Islam datang dalam keadaan
asing, dan akan kembali asing, maka Thuba-lah (beruntunglah) bagi
orang orang yang asing." [HR. Muslim 2/152 no. 232-145].
"Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu'anhuma berkata: Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Islam datang
keadaan asing, dan akan kembali asing seperti semula, maka Thuba-lah
(beruntunglah) bagi orang orang yang asing." Dia berkata: telah
dikatakan siapa ghuraba' (orang orang asing?) Beliau menjawab: "Yang
dirampas dari kabilahnya." [HR.
Ibnu Majah 2/1320 no. 3988, Darimi (2/211-312), Ahmad (1/398),
Berkata Al Albani: Shahih, tanpa ucapan 'berkata' dan 'dikatakan'].
"Dalam riwayat Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhuma, Dikatakan:
"Siapa mereka, ya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam?", beliau
menjawab: "Orang orang yang baik, ketika manusia telah rusak." [HR.
Abu Amr Ad-Dani di Sunan Waridah fil Fitan 1/25, al Ajurri di Ghuraba'
hal. 21 dan yang lainnya, silahkan lihat; Silsilah Shahihah 3/267]
[SIFAT SIFAT GHURABA' (ORANG ORANG YANG ASING)]
-----------------------------------------------
... .. .

Sangat penting kita mengetahui sifat sifat yang dimiliki oleh orang orang
yang dipuji dan disanjung oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam
dalam banyak sabda beliau. Orang yang diceritakan oleh beliau
beragama bagai memegang bara, tapi mereka adalah orang yang
berbahagia... apa pula gerangan sifat mereka tersebut, orang yang
bahagia di saat dia adalah orang yang sengsara... orang yang hidupnya
penuh dengan tekanan tapi mereka adalah yang
paling lapang hidupnya, paling cerah mukanya.
Orang orang ghuraba' pada masa akhir zaman dialah muslim sejati
dengan sifat sifat idealnya, sebagaimana mereka dalah muslim yang
sebenarnya pada masa awal Islam. Jadi kalau seseorang hendak mencari
kebenaran pada diri manusia, carilah pada mereka. Jika seseorang
hendak mencari teman senasib dan sepenanggungan, bertemanlah
dengan mereka. Jika seorang mencari panutan agar tidak tergelincir
pada roda kehidupan, maka jadikanlah mereka sebagai
panutan.
Dari semua kumpulan hadits tentang mereka maka sifat yang menonjol
pada mereka adalah sebagai berikut;
Mereka adalah orang yang shalih dan taat pada perintah agama
lihat dia bergerak dan berjalan ataupun diam, dia selalu meletakkan
kakinya di atas hudud Allah Subhanahu wa Ta'ala, perhatiannya tidak
lepas mana tempat suruhan agar ia laksanakan dan dimana tempat
larangan agar ia tinggalkan.
Memang perhatiannya yang besar terhadap amar (tempat suruhan)
nahi (tempat larangan) mengharuskannya untuk menuntut ilmu syariat,
karena tidak akan mungkin mengetahui hal itu tanpa memiliki bashirah
yang tajam dan ilmu yang mendalam tentang Al Qur'an dan Sunnah.
Perbedaannya dengan yang lain adalah dalam hal ini, memang banyak
orang yang punya semangat seperti semangatnya, mempunyai niat baik
seperti niatnya, akan tetapi sebanyak itu pula mereka tidak dituntun
mendapatkan taufiq ilmu, sehingga mereka tergelincir.
Keshalihannya menuntunnya untuk mengenal Allah atau menurut
sebagian orang, ma'rifah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia tahu
benar tempat tempat kemurkaan-Nya sebagaimana ia sangat tahu
tempat tempat keridhaan-Nya. Ia tahu apa yang harus ia perbuat ketika
ia tergelincir dalam melakukan kesalahan dan maksiat, bagaimana ia
kembali dapat merebut kecintaan Allah kepadanya, bahkan ia dapat
dengan kesalahan tersebut mendekatkan diri kepadaNya lebih dekat
daripada sebelum melakukan kesalahan dan maksiat. Sebagaimana
... .. .
orang tuanya Adam lebih dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
setelah memakan buah khuldi daripada sebelumnya.
[PERSONAL VIEW]
---------------
Saya masih ingat ketika di daerah saya para wanita yang memakai jilbab
masih segelintir. Yang segelintir ini pun diterpa berbagai macam ujian
dan cemoohan. Sama halnya dengan perihal memanjangkan jenggot di
kalangan laki laki. Satu fenomena menarik yang lainnya adalah semakin
banyaknya orang orang yang shalat dan meramaikan masjid. Demikian
pula fenomena dari orang orang yang mulai rajin menuntut ilmu agama.
Terutama dari kalangan para pemuda. Suatu fenomena yang
membanggakan bagi orang orang yang berhati lurus mencintai Islam.
Kian hari jumlah mereka pun tidak bisa dibilang berkurang, meski
masih sangat jauh dari hitungan mayoritas. Tetapi mereka yang
minoritas ini termasuk orang orang yang beruntung karena berada di
atas al Haq.
Demikian ringkasan ini semoga bermanfaat.
Ringkasan buku ini dibuat di Depok 16 Februari 2009
oleh Abu Isa Hasan Cilandak
Semoga Allah menolongnya, menolong para pembela Islam dan kaum muslimin
Read More..

Nafkah Istri

... Ringkasan Buku ...

Judul : Nafkah Istri-Hukum Menafkahi Istri dalam Perspektif Islam
Penulis : Dr. Muhammad Ya'qub Thalib Ubaidi
Penerbit : Darus Sunnah
Cetakan : Pertama, Agustus 2007
Halaman : 246 halaman
Buku ini membahas tentang nafkah istri dalam pandangan Islam secara
lengkap. Pemaparannya pun tergolong ilmiyah karena memang pada
asalnya buku ini adalah buah dari tesis pada Program Pendidikan Tinggi
di Universitas Islam Madinah.
Berikut secara garis besar pokok bahasannya:
Mukaddimah
... .. .
Bab 1-Nafkah istri
A. Nafkah istri dan hukum hukum seputarnya
B. Ukuran nafkah istri
C. Hal hal yang termasuk nafkah istri
Bab 2-Problematika Problematika yang berkaitan dengan nafkah istri
A. Permasalahan yang berkaitan dengan nafkah istri
B. Istri yang tidak berhak mendapatkan nafkah
Bab 3-Nafkah istri yang ditalak dan yang semisalnya
A. Istri yang ditalak
B. Fasakh (pembatalan) nikah dan dampaknya
Penutup
A. Nafkah istri menurut sekte sekte agama Nasrani
B. Nafkah istri menurut Yahudi
Dalam ringkasan ini saya kutipkan sebagian isi dari buku itu. Tentunya
dengan meringkasnya.
[HUKUM NAFKAH ISTRI DAN DALIL DALILNYA]
--------------------------------------
Ulama fikih sepakat bahwa hukum memberikan nafkah untuk istri
adalah wajib dilihat dari sisi hukum, dan dampak dari akad nikah yang
sah dan juga merupakan salah satu hak dari hak hak yang dimiliki oleh
istri dari suaminya sebagai konsekuensi akad nikah yang dianggap sah
oleh syari'at.
Oleh sebab itu, nafkah wajib atas suami meskipun istrinya orang kaya,
baik muslimah atau bukan. Sebab perkara yang mewajibkannya adalah
perkawinan yang sah dan hal ini merupakan perkara yang sudah
terealisasikan pada seluruh wanita yang bersuami.
Dalil dari Al Qur'an.
a. Firman Allah (yang artinya):
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya." (QS. Ath
Thalaq: 7).
b. Firman Allah (yang artinya):
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para istri
dengan cara yang baik." (QS. Al Baqarah: 233).
... .. .
c. Firman Allah (yang artinya):
"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri istri yang
sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka melahirkan." (QS. Ath Thalaq: 6).
d. Firman Allah (yang artinya):
"Kaum laki laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah
melebihkan sebahagian mereka (laki laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka." (QS. An Nisa': 34).
[SEBAB SEBAB YANG MEWAJIBKAN UNTUK MENAFKAHI ISTRI]
---------------------------------------------------
Pendapat yang kuat.
Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan
bahwa sebab diwajibkan untuk menafkahi istri adalah kesiapan seorang
istri menyerahkan dirinya kepada suami, bukan sekedar pelaksanaan
akad nikah. Ini bersandarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah yang
dinikahi oleh Rasulullah ketika masih berumur 6 tahun. Rasulullah
menggaulinya dua tahun berikutnya dan tidak pernah diriwayatkan
bahwa beliau menafkahi Aisyah sebelum
menggaulinya.
Adapun pendapat madzhab Hanafi selain Abu Yusuf yang menyatakan
bahwa nafkah istri wajib ditanggung oleh suami sejak pelaksanaan akad
nikah, dalil mereka bersifat logika saja, bertentangan dengan riwayat
dari Rasulullah yang melakukan akad nikah Aisyah dan ia tetap berada
bersama orang tuanya selama lebih dari dua tahun dan belum digauli
oleh Rasulullah. Ditambah lagi, bahwa dengan akad nikah itu, Aisyah
menjadi terikat oleh kepentingan beliau.
Seandainya nafkahnya wajib sejak adanya keterikatan itu, tentunya
Rasulullah akan memberikan nafkah kepadanya. Dengan tidak adanya
pemberian nafkah untuknya sebelum pindah menuju rumah tangga,
menunjukkan tidak wajib menafkahi istri sebelum itu. Karena tidak
masuk akal, bila Rasulullah yang merupakan suri tauladan dan dari
beliaulah syari'at datang, menolak menyampaikan hal yang menjadi
kewajiban beliau. Seandainya beliau telah
menyerahkan, niscaya beritanya sampai pada kita dan banyak riwayat
akan mengeksposnya. Lantaran tidak ada beritanya, ini menunjukkan
... .. .
beliau tidak memberikannya, dan selanjutnya menunjukkan tidak
adanya kewajiban.
Dengan demikian nampak bahwa pendapat yang kuat adalah menafkahi
istri tidak wajib hanya karena pelaksanaan akad nikah.
[PERSONAL VIEW]
---------------
Seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya meskipun istrinya
itu seorang yang kaya. Ternyata urusan nafkah ini banyak hal yang perlu
untuk dipelajari, termasuk ukuran pemberian nafkah, apa apa saja yang
termasuk nafkah istri, dan rentetan lainnya yang masuk dalam
problematika pemberian nafkah.
Baiknya buku ini perlu dibaca oleh mereka yang akan menikah dan juga
yang telah menikah.
Demikian semoga bermanfaat.
Ringkasan buku ini dibuat oleh Abu Isa Hasan Cilandak
Semoga Allah mengam
Read More..

Jilbab Kok Gitu? Koreksi Jilbab Indonesia

... Ringkasan Buku ...
Judul : Jilbab Kok Gitu? Koreksi Jilbab Indonesia
Penulis : Andi Muhammad Arief
Penerbit : Maktabah Ta'awuniyah
Cetakan : Pertama, Sya'ban 1429 H/2008 M
Halaman : 63
Allah Jalla wa 'Ala berfirman yang artinya:
... .. .
"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri istrimu, anak anak perempuanmu
dan istri istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu agar mereka lebih mudah
untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzaab: 59).
Ayat di atas memerintahkan kepada para muslimah untuk menutupkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Namun dalam prakteknya banyak
para muslimah yang tidak memahami bagaimana memakai jilbab yang
benar sesuai aturan Islam. Berangkat dari ketidaktahuan ini, kita
saksikan banyak model jilbab dengan beragam gaya cara pakainya.
Buku ini memuat koreksi jilbab yang ada di Indonesia. Ditulis dengan
gaya penulisan yang mudah untuk dipahami. Yang dibahas dalam buku
ini adalah:
- Sempurnakan hijab
- Kewajiban berhijab
- Bagaimana menutup aurat sesuai syari'at Islam?
- Alasan muslimah memakai jilbab
- Syubhat sekitar hijab
- Jilbab kok gitu?!
Bisa jadi salah satu dari kita ada yang terkena koreksi, anggap saja
sebagai nasehat dan jangan terburu gerah. Bersyukurlah karena masih
ada yang menasehati. Kemudian niatkan hati setahap demi setahap
melakukan perubahan ke arah syari'at Islam.
Dalam ringkasan ini saya kutipkan sebagian isi dari buku ini dengan
meringkasnya. Kekeliruan dalam berjilbab saya kutipkan sebagiannya
saja demikian pula penjelasan penjelasan lainnya. Footnote tidak saya
sertakan. Semata mata untuk ringkasnya tulisan ini.
[BAGAIMANA MENUTUP AURAT SESUAI SYARI'AT ISLAM?]
-------------------------------------------------
Banyak muslimah yang belum memahami benar bagaimana menutup
aurat yang syar'i. Berikut ini akan dijelaskan cara menutup aurat yang
syar'i.
1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
2. Tidak tabarruj
Yaitu berhias dan berdandan serta bertingkah laku sebagaimana kaum
jahiliyah dan kafir. Diantaranya dengan menampakkan bagian bagian
tubuh yang seharusnya ditutup dan hanya diperlihatkan kepada
suaminya saja.
... .. .
3. Tebal (tidak tipis atau transparan)
4. Lebar dan longgar
5. Tidak menyerupai pakaian laki laki
6. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
7. Bukan pakaian yang menyolok mata
Pakaian yang menyolok mata dan aneh akan menjadi pusat perhatian
laki laki dan timbulnya fitnah. Masuk di dalamnya pakaian syuhroh
(pakaian yang sedang nge-trend dan digandrungi). Semua wanita
berlomba lomba memakainya dan ingin diperhatikan oleh orang
disekitarnya. Pakaian ini menimbulkan decak kagum, pujian dan
menjadikan orang lain iri untuk memakainya.
8. Tidak memakai wewangian diluar rumah
[JILBAB KOK GITU?!]
-------------------
Sebagian kesalahan di bawah ini ada yang tidak terlalu fatal namum
banyak pula yang sangat fatal. Semakin dekat dengan tuntunan syari'at
dalam berbusana maka semakin baik. Semakin jauh dari syari'at maka
semakin membutuhkan petunjuk, koreksi dan bimbingan ke arah yang
lebih baik.
Memang kemampuan, keadaan, ilmu, niat, materi, lingkungan pada
masing masing muslimah berbeda sehingga pengalaman pun berbeda.
Kelebihan dan kekurangan dari faktor di atas selalu ada. yang memakai
kerudung mini tentunya lebih baik dari yang belum memakai. Yang
berjilbab lebar lebih baik dari yang berjilbab mini. Yang memakai gamis
lebih baik dari yang masih memakai baju dan celana panjang. Semua
mempunyai tingkatan dan derajat.
Berikut beberapa kekeliruan dan kesalahan yang perlu diluruskan
karena banyak sebagian kaum muslimah belum mengetahui atau
menyadarinya.
1. Menyamakan kerudung dengan jilbab
2. Berjilbab tapi aqidahnya rusak
Banyak yang menggunakan busana muslimah yang syar'i, tapi masih
meyakini dan melakukan perbuatan syirik. Meminta berkah kepada
selain Allah seperti kuburan. Bertawassul dengan selain Allah. Meyakini
tukang ramal, primbon, feng-shui, dan orang orang yang mengaku
... .. . Resensi Buku Islam Page 7 of 85
http://buku-islam.blogspot.com/ 4/9/2009
mengetahui kejadian yang akan datang seperti jodoh, rezeki, nasib dan
sebagainya. Hal ini akan menghancurkan seluruh amal baiknya
termasuk pahala berjilbab.
Allah berfirman yang artinya:
"Jika kamu berbuat syirik maka akan hancur amalanmu dan kamu
termasuk orang orang yang merugi." (QS. Az Zumar: 65).
3. Kerudung yang sangat ketat
4. Memakai baju dan celana ketat
Para muslimah hanya beranggapan bahwa menutup aurat adalah
menutupi tubuh dengan kain agar tidak terlihat secara langsung.
Sehingga apa yang dipakainya masih membentuk tubuhnya yang
mengundang syahwat kaum lelaki. Hal ini sama dengan wanita yang
memakai baju selam. Apakah pakaian selam pantas dikatakan berhijab?
Semua tubuhnya tertutup ketat kecuali wajah dan telapak tangan. Dada
dan lekuk tubuh lainnya terbentuk dengan jelas. Berpakaian dan
telanjang sama saja.
9. Si anak berjilbab sang ibu menor
Ibu muslimah yang berdandan menor mengantar anak sekolah di TK
atau SD Islam dengan seragam muslimah yang diwajibkan sekolah.
Seharusnya sang ibulah yang wajib berjilbab. Karena kewajiban itu
dibebankan kepada wanita baligh.
10. Busana muslimah yang mencolok
11. Memakai celana panjang
Maksudnya adalah benar benar memakai celana panjang sebagai
pakaian bawahnya. Sehingga belahan kakinya terbentuk. Namun jika
memakai celana panjang kemudian dirangkap dengan gamisnya maka
hal itu boleh.
26. Kain gamis di atas mata kaki tapi tidak berkaos kaki
Kaki bagian bawah termasuk aurat wanita yang wajib ditutup. Namun
masih banyak wanita muslimah yang belum mengetahuinya walau sudah
berjilbab lebar. Maka hendaknya bagian bawah gamis lebih panjang dan
menutup kaki sepenuhnya atau dengan memakai kaos kaki.
29. Cara membawa tas yang keliru
Muslimah yang sudah memakai jilbab dengan rapi kadang kurang
memperhatikan cara membawa tas. Baik tas slempang (dibawa pakai
bahu sebelah) atau tas jenis ransel (dibawa di punggung dengan dua
slempang di dada). Selempang akan menekan bagian dada karena
... .. .
menahan beban tas sehingga dada akan terbentuk dan menonjol. Hal ini
tidaklah patut bagi muslimah. Sebagai solusi, beralihlah dengan
menggunakan tas jinjing. Repot sedikit tapi
selamat dari fitnah.
33. Berkerudung mini, berbaju lengan pendek dengan manset panjang
34. Mematuhi orang tua atau suami sehingga busananya semakin jauh
dari yang disyari'atkan
Banyak muslimah atau para istri yang sudah mantap berhijab, namun
ditentang oleh orang tua dan suami mereka. "Jilbab tidak usah lebar
lebar, tidak rapi, ribet, kampungan, ketinggalan zaman" dan sebagainya.
Bahkan ada yang menyuruh melepaskan jilbabnya. Bertaubatlah wahai
para orang tua dan suami, karena Anda akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedangkan
taat kepada makhluk dalam menentang Allah Subhanahu wa
Ta'ala hukumnya haram.
"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada
Allah." (HSR. Ahmad).
36. Tidak memakai manset
Manset yang terbuat dari kain kaos dan dikenakan di lengan tangan
sangat bermanfaat. Ketika berada di busway atau bus kota dan tangan
berada di besi tempat berpegangan, maka tanpa disadari lengan baju
akan melorot dan lengan tangan akan terlihat. Sedangkan lengan tangan
adalah aurat yang wajib ditutup.
Manset berguna menahan turunnya lengan baju karena bersifat kesat.
Kalau pun lengan baju melorot ke bawah, maka lengan masih tertutup
manset.
38. Berhijab tapi kemproh
Sebagai muslimah yang cinta kebersihan, kerapian dan keindahan sudah
selayaknya perhatian dalam hal ini dan jangan meremehkan. Citra
muslimah juga dilihat dari kondisi busananya.
39. Berwudhu di tempat umum dan membuka jilbabnya
Dengan alasan cuma sebentar dan mendesak, maka aurat pun terbuka
ketika berwudhu. Seharusnya mencari tempat wudhu khusus wanita
yang tertutup atau berwudhu di dalam kamar mandi.
[PERSONAL VIEW]
---------------
... .. .
Banyak hal yang perlu dan harus dipelajari oleh kaum muslimin. Tidak
boleh berdiam diri dalam ketidaktahuan. Termasuk juga dalam hal
berhijab bagi para muslimah. Harus dipelajari bagaimana cara
berpakaian yang sesuai syari'at Islam. Kemudian menerapkannya pada
diri sendiri.
Memang disadari perubahan ke arah aturan Islam perlu proses dan
tahapan. Yang berjilbab mini tentunya lebih baik daripada yang tidak
berjilbab. Yang berjilbab lebar tentunya lebih baik daripada yang
berjilbab mini. Namun harus terus diupayakan perubahan ke arah yang
lebih baik sehingga sesuai dengan aturan Islam.
Maka selamat datang para muslimah kepada jilbab yang sesuai syari'at
Islam. Kami yakin Allah mencintai kalian dengan upayamu ke arah
syari'at Islam.
Ringkasan buku ini dibuat oleh Abu Isa Hasan Cilandak
Semoga Allah mencintainya, mencintai orang tuanya, dan seluruh kaum muslimin
Read More..

Doa Anak Shalih Kepada Orang Tua

... Ringkasan Buku ...

Judul : Doa Anak Shalih Kepada Orang Tua
Penulis : Abu Ihsan al Atsari
Penerbit : Daar an Nabaa'
Cetakan : Pertama, April 2007
Halaman : 124
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
"Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya
kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau
anak shalih yang selalu mendoakannya." (Hadits shahih riwayat Muslim
(1631)).
Oleh karena itu, anak shalih yang selalu mendoakan orang tua
merupakan aset penting yang sangat berharga yang selalu dicita citakan
oleh para orang tua.
Buku saku ini menjelaskan pentingnya anak shalih yang selalu
mendoakan orang tuanya. Beragam hal dibahas dalam buku ini,
diantaranya adalah:
- Birrul walidain
- Berbakti kepada kedua orang tua dan mendoakannya merupakan
wasiat Allah sesudah wasiat tauhid


- Hingga apabila engkau telah berusia empat puluh tahun
- Doa doa untuk kedua orang tua dalam al Qur'an
- Etika dan waktu yang tepat untuk mendoakan kedua orang tua
- Amal amal shalih yang dilakukan anaknya yang shalih
- dll
Dalam ringkasan ini saya kutipkan sebagian saja dari isi buku itu.
Dengan meringkasnya. Semoga bermanfaat buat kaum muslimin.
[JERIH PAYAH YANG TIADA SIA SIA]
---------------------------
Anak adalah anugerah yang agung. Ia merupakan titipan Allah kepada
kita, sekaligus menjadi amanah yang harus kita jaga. Demikian halnya
tugas sebagai orang tua, mengasuh dan mendidik anak anak,
mendampingi serta membimbing mereka. Semua itu harus dilakukan
dengan mengharapkan pahala di sisi Allah. Karena anak adalah aset
yang tiada ternilai harganya dan merupakan tabungan bagi kedua orang
tuanya di akhirat kelak. Pada saat pahala seluruh amalan telah terputus,
saat pahala shalat dan puasa tak lagi bisa kita raih. Dikala itu, doa anak
yang shalih akan bermanfaat bagi kedua orang tuanya. Demikian pula
ilmu yang bermanfaat yang telah diajarkan kedua orang tua kepada anak
anak mereka akan terus mengalirkan pahala bagi keduanya.
Sungguh jerih payah yang kita lakukan itu tak akan sia sia. Kita pasti
memetik hasilnya di kemudian hari kelak. Sungguh berbahagialah orang
tua yang memiliki anak shalih. Maka dari itu, hendaklah ia senantiasa
mendoakan anaknya supaya menjadi anak shalih. Allah berfirman (yang
artinya):
"Dan orang orang yang berkata: 'Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada
kami isteri isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang orang yang
bertakwa'." (QS. al Furqan: 74).
Dan orang tua boleh meminta alim ulama atau orang shalih supaya
mendoakan anaknya menjadi anak yang shalih, anak yang berbakti
kepada orang tuanya. Seperti itulah yang dilakukan oleh para shahabat
Nabi dahulu, mereka membawakan anak anak mereka untuk ditahnik
dan didoakan oleh Nabi shallallahu'alaihi wa sallam.
Diriwayatkan dari Abu Musa al Asy'ari radhiyallahu'anhu, ia berkata:
"Ketika aku dikaruniai seorang anak, aku membawanya kepada
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam. Beliau menamakannya Ibrahim,
... .. .
lalu beliau mentahniknya dengan kurma serta mendoakan keberkahan
untuknya kemudian beliau serahkan kembali kepadaku." Itulah anak
sulung Abu Musa al Asy'ari. (HR. Bukhari dalam kitab al Aqiqah (7645)).
Sebagai orang tua kita harus siap berkorban apa saja asalkan anak kita
tumbuh menjadi anak yang shalih. Anak yang shalih adalah anugerah
sangat besar dari Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tidak bisa dinilai
dengan materi...!
[ABU HURAIRAH ANAK YANG SHALIH DAN
BERBAKTI KEPADA IBUNDANYA]
-----------------------------------
Mendoakan kedua orang tua bukan hanya ketika mereka sudah wafat,
namun juga ketika mereka masih hidup. Dan mendoakan mereka bukan
hanya melalui lisan kita, tapi bisa juga dengan cara meminta kepada
orang yang shalih supaya mendoakan kebaikan, hidayah dan petunjuk
bagi kedua orang tua kita. Usaha maksimal harus ditempuh oleh seorang
anak yang berbakti untuk kebaikan dan keshalihan bapak ibunya. Dalam
hal ini seorang shahabat Abu Hurairah radhiyallahu'anhu telah
memberikan contoh teladan yang baik untuk kita.
Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Yazid bin
Abdurrahman, ia berkata: "Abu Hurairah radhiyallahu'anhu bercerita
kepadaku:
"Dahulu aku mengajak ibuku memeluk Islam, saat itu ia masih musyrik.
Pada suatu hari aku pergi mendakwahinya, lalu aku mendengar
perkataannya yang tidak mengenakkan tentang Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam. Aku pun menemui Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam sambil berlinang air mata. Kukatakan
kepada beliau:
"Wahai Rasulullah, aku telah mengajak ibuku memeluk Islam, namun ia
menolak ajakanku. Pada suatu hari aku pergi mendakwahinya, lalu aku
mendengar perkataannya yang tidak mengenakkan tentang dirimu!
Mohonkanlah kepada Allah semoga memberi hidayah bagi ibuku!"
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berdoa:
"Ya Allah, berilah hidayah bagi ibu Abu Hurairah!"
Aku pun keluar dengan perasaan gembira karena doa Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam tersebut. Sesampainya di ambang pintu
kudapati pintu tertutup. Ibuku ternyata mendengar suara langkahku. Ia
berkata:
... .. .
"Tetaplah engkau di tempatmu hai Abu Hurairah!"
Aku mendengar suara percikan air dari dalam, ternyata ibuku sedang
mandi lalu mengenakan baju kurung dan selendangnya, baru kemudian
membukakan pintu, ia berkata:
"Hai Abu Hurairah, sesungguhnya aku bersaksi Laa ilaaha illallah dan
aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul Nya."
Lalu akupun kembali menemui Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam
sambil berlinang air mata karena luapan kegembiraan. Aku berkata:
"Wahai Rasulullah, sambutlah kabar gembira, doamu telah dikabulkan
Allah! Allah telah memberi hidayah bagi ibuku!" Beliau pun
memanjatkan segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala sembari
mengucapkan perkataan yang baik. Aku berkata:
"Wahai Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar menjadikan
segenap kaum mukminin mencintai aku dan ibuku serta menjadikan
kami mencintai hamba hamba Nya yang beriman." Maka Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam berdoa:
"Ya Allah, jadikanlah hamba Mu ini (yakni Abu Hurairah) dan ibunya
orang yang dicintai oleh kaum mukminin dan jadikanlah mereka
mencintai orang orang yang beriman!"
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata: "Maka setiap hamba mukmin
yang mendengar perihal diriku pasti mencintai diriku meski belum
melihatku!" (HR. Muslim (2491)).
Sungguh sebuah teladan yang agung dari seorang anak shalih, yang
berbakti pada orang tuanya. Cobalah lihat bagaimana kegigihan Abu
Hurairah radhiyallahu'anhu dan usahanya yang pantang menyerah
dalam mendakwahi ibunya agar mendapat petunjuk kepada Islam.
Hingga ia menempuh jalan yang paling mulia yaitu doa. Dan bukan
hanya doanya saja, bahkan ia meminta kepada Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam agar mendoakan ibunya.
Cara seperti ini ada baiknya dicontoh oleh siapa saja yang menginginkan
kedua orang tuanya mendapat petunjuk kepada Islam dan Sunnah.
[PERSONAL VIEW]
---------------
Buku ini memberikan inspirasi kepada saya setidaknya dalam dua hal
... .. .
penting.
Yang pertama adalah pentingnya memiliki anak yang shalih
yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Kenyataan yang ada pada
masyarakat, banyak para orang tua sangat antusias dan berjuang
maksimal dalam upayanya menjadikan anak yang pintar. Tetapi mereka
lupa atau sedikit sekali
perhatiannya untuk membimbing, mempola, dan mendisain anak
anaknya agar menjadi anak yang shalih atau shalihah. Padahal anak
yang shalih lebih bermanfaat dan dibutuhkan oleh orang tuanya kelak.
Yang kedua adalah pentingnya mendoakan kebaikan untuk kedua orang
tua. Harus ada upaya maksimal dari anak untuk mendoakan kedua
orang tuanya. Diantaranya dengan minta didoakan kepada orang shalih
untuk kebaikan kedua orang tua. Pepatah Arab mengatakan,
Sebagaimana engkau berbuat
Seperti itulah engkau akan diperlakukan
Bila kita mendoakan orang tua kita, insya Allah nantinya anak anak kita
pun akan mendoakan kita pula.
Ringkasan buku ini dibuat oleh Abu Isa Hasan Cilandak
Semoga Allah mencintai kedua orang tuanya
Read More..

Untukmu yang berjiwa hanif

Untukmu yang Berjiwa Hanif

... Ringkasan Buku ...
http://buku-islam.blogspot.com



Judul : Untukmu yang Berjiwa Hanif
Penulis: Armen Halim Naro
Penerbit: Pustaka Darul Ilmi-Bogor
Cetakan : Ketiga, Maret 2008
Halaman: x+185


Ini merupakan buku best seller buah karya Ustadz Armen Halim bin Jasman Naro bin Nazim bin Durin rahimahullah, seorang putra Pekanbaru. Buku ini diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai fitrah yang lurus dan hati yang hanif. Untuk mereka yang menempuh perjalanan panjang mencari kebenaran sebagaimana jalan yang ditempuh oleh Salman al Farisi dan Waraqah bin naufal.

Buku ini memuat lima bab dan satu bab penutup. Yaitu
Bab satu berisi muqaddimah.
Bab dua berisi hakikat kehidupan.
Bab tiga berisi gerbang hidayah.
Bab empat berisi menuju cara beragama yang benar.
Bab lima berisi menuju madzhab salaf.
Bab enam berisi penutup.

Dalam ringkasan ini hanya dikutipkan sebagian isi dari buku tersebut sebagai gambaran untuk para pembaca. Yaitu dari bab Menuju Cara Beragama yang Benar. Tidak semuanya, tetapi dengan meringkasnya. Footnote tidak saya sertakan. Read More..

Sirah Nabawiyah

sirah nabawiyah disinidownloadnya Read More..

Pemimpin Para Manusia Super

أَعُوذُ بِاللّٰهِ السَّمِيـعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّخِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

(Bismillahir- rohmanir- rohiym)
Amirul-Mu'minin, Pemimpin para manusia super
Karunia, 20/07/1430 (13/07/2009)


Dalam tiap sholat, kita selalu berikrar dalam bacaan iftitah: sholat, ibadah, hidup, dan mati, hanya untuk Allah, tiada sekutu bagiNya, dan aku adalah muslim yang awal (awwalul-muslimin) (QS.6:162-163) . Siapakah muslim yang awal? Mereka adalah orang-orang generasi pertama yang berserah diri. Dan setiap generasi muslim yang selanjutnya, diajarkan oleh Allah agar meniru generasi awal orang-orang yang berserah diri. Karena mereka adalah sebaik-baik manusia, yang dicintai Allah, dan selalu dimenangkan oleh Allah. Dan berikut ini adalah sekelumit untaian kisah sejarah yang mereka ukir:


Tahun 16H (637M), ekspedisi untuk menghadapi Persia dan Suriah yang dikirim oleh khalifah Abu Bakr telah membuahkan hasil di masa khalifah Ummar. Saat itu tengah pengepungan kota Yerusalem oleh dua panglima perang terbaik, Amr bin Ash dan Abu Ubaidah. Kaum nasrani yang telah berputus asa mengurung diri di dalam benteng-benteng Yerusalem yang kokoh. Sebenarnya kekuatan kaum muslimin mampu membobol benteng-benteng itu, tetapi tidak dilakukan karena kaum nasrani memilih jalan berdamai.


Beberapa syarat telah ditentukan dalam perjanjian damai yang dibuat oleh kaum nasrani Yerusalem. Salah satunya adalah kedatangan langsung pemimpin tertinggi kaum muslimin ke Yerusalem. Syarat yang memberatkan, yang padahal saat itu posisi mereka tidak dapat menawar karena telah terdesak. Di Madinah khalifah ummar mengadakan rapat bersama para shahabat lainnya. Beberapa shahabat memberikan pendapat untuk mengabaikan permintaan mereka, karena mereka telah kalah dan hina. Tetapi Ali berbeda pendapat, agar menuruti keinginan mereka bertemu dengan khalifah, dan Yerusalem jatuh dalam keadaan damai. Ummar mendukung pendapat Ali dan berangkat ke Yerusalem, dan kekhalifahan sementara diwakilkan kepada Ali.


Pada saat itu, semenanjung Arab telah dikuasai oleh kaum muslimin. Dan sudah sepatutnya pemimpin dari kaum muslimin, penguasa jazirah Arab dan penakluk Persia, diselimuti oleh kebesaran dan kemegahan. Kaum nasrani di Yerusalem telah memperkirakan keagungan dari khalifah ummar yang gagah berani, dengan tentara-tentaranya yang tak terkalahkan. Tetapi, setelah khalifah Ummar tiba di Yerusalem mereka tercengang dan jauh dari perkiraan.


Tidak ada iringan pasukan khusus, tidak ada karavan penghibur, tidak ada akomodasi perjalanan sekelas kaisar agung. Khalifah ummar hanya bersama kudanya yang kelelahan, yang beliau tuntun sendiri, dan juga bersama beberapa orang shahabat dari muhajirin dan anshor. Para panglima perang yang berada di daerah Palestina saat itu, Yazid bin Abi Sufyan, Khalid bin Walid, dan beberapa panglima perang lainnya, menyambut kedatangan khalifah. Melihat keadaan perwira-perwira tempurnya yang berjajar dengan kemewahan Suriah, khalifah Ummar sangat kecewa. Beliau mengambil kerikil-kerikil di tanah dan dilemparnya pada para perwira tempurnya yang mengenakan sutera. "Demikian cepat kalian telah terjerumus kedalam kebiasaan Persia!", dan dengan segera mereka menanggalkan sutera-sutera indah itu.


Menuju perjalanan masuk kota Yerusalem, kuda khalifah ummar tidak lagi mampu meneruskan perjalanan. Beberapa perwira membawakan kuda perang dari Turki yang gagah dan kuat. Tetapi beliau berkata, "Sesuatu yang amat menyedihkan, dari mana kuda yang suka berlagak dan sombong ini." Dan beliaupun meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Setibanya di gerbang kota Yerusalem, Abu Ubaidah datang menjemput. Abu Ubaidah malu melihat pakaian khalifah yang lusuh dan nampak hina, lalu ditawarkan kepada khalifah pakaian paling bagus. Khalifah Ummar menolaknya, dan beliau berkata "Allah telah mengaruniaiku dengan Islam, dan cukuplah Islam menjadi izzahku." Dan masuklah beliau ke dalam Yerusalem dengan keadaan yang sangat sederhana, khalifah bak rakyat jelata.


Waktu sholat tiba, khalifah Ummar meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan. Tetapi Bilal menolak dengan alasan dia tidak lagi mengumandangkan adzan setelah Rasulullah tiada. Khalifah memintanya dengan sangat agar Bilal mau mengumandangkan adzan. Dengan bujukan dari khalifah, Bilalpun mau mengumandangkan adzan karena khalifah Ummar yang meminta. Dan adzanpun berkumandang membahana di Yerusalem. Suara Bilal yang merdu dan nyaring membangkitkan kembali kenangan saat-saat Islam masih dimasa awal. Perjuangan menegakkan tauhid bersama Rasulullah, kembali mengisi mengisi nostalgia indah penyerahan diri kepada Allah. Para panglima perang yang gagah perkasa menangis dengan sangat sedih. Dan khalifah Ummar yang agung terisak-isak tak berkeputusan. Islam telah sampai di Yerusalem.


Manusia-manusia hebat itu tenggelam dalam airmata disaat perayaan penyerahan Yerusalem. Mereka adalah singa-singa padang pasir yang menjadi rahib di malam hari, merintih dan memohon ampunan kepada Allah.



--
------------ -------
Karunia
Read More..